AUTOINDO.ID, JAKARTA–Penjualan sepeda motor di Indonesia periode Januari–Juni 2025 tercatat sekitar 3,1 juta unit. Artinya ada lebih dari tiga juta motor baru yang dikendarai di Tanah Air hanya dalam periode enam bulan pertama tahun ini. Bisa pula dikatakan muncul tambahan tiga juta lebih kemungkinan terjadinya kecelakaan sepeda motor. Sebelumnya tercatat sudah ada sekitar 130 juta sepeda motor di Indonesia.
Sekali lagi, bayangkan potensi kecelakaannya. Negara dengan populasi sepeda motor terbanyak di dunia adalah India (sekitar 250 juta motor, data pertengahan 2025). Disusul di posisi kedua adalah Indonesia (130 juta unit) dan China di posisi ketiga dengan 90 juta unit.
Indonesia jumlah penduduknya sekitar 280 juta jiwa, sedangkan India dan China sekitar 1,5 miliar jiwa. Artinya setiap 6 jiwa di India berbanding 1 motor. Sedangkan di China setiap 16 jiwa berbanding 1 motor. Nah di Indonesia, setiap 2 jiwa berbanding 1 motor.
Berarti jumlah motor di Indonesia sekitar setengah jumlah penduduk. Beberapa belas tahun lagi mungkin jumlah sepeda motor sama dengan jumlah penduduk.
“Kami menargetkan satu rumah punya satu motor. Untuk selanjutnya, satu orang punya satu motor. Dan kemudian satu orang memiliki beberapa motor,” tutur Johannes Loman, pimpinan industri sepeda motor terkemuka di Indonesia, kepada media beberapa tahun lalu, sebelum beliau pensiun.
Menonton saluran media sosial seperti Dashcam Indonesia, kita bisa melihat dengan jelas berbagai kejadian kecelakaan sepeda motor maupun moda transportasi lainnya. Bila kita analisis, banyak sekali tragedi yang tidak seharusnya terjadi, bila pengendara menjalankan prinsip defensive driving alias berkendara kalem (tidak agresif).
Sayangnya, prinsip berkendara yang menjunjung tinggi keselamatan belumlah dibudayakan di Indonesia. Orang kebanyakan masih berkendara semampunya, bukan sebaiknya. Konflik di jalanan hingga kecelakaan pun terjadi di mana-mana.
Bagaimana cara membudayakan prinsip berkendara yang aman? Salah satu cara yang efektif adalah dengan memasukkannya ke dalam kurikulum sekolah secara permanen. Ini adalah pikiran yang telah disepakati banyak pakar di dalam seminar maupun diskusi.
“Belum ada penerapan kurikulum defensive driving di sekolah secara permanen,” ujar Sonny Susmana, seorang pengamat keselamatan berkendara dari SDCI (Safety Defensive Consultant Indonesia) kepada autoindo.
Mengapa? Kurikulum keselamatan berkendara belum menjadi bagian integral dari sistem pendidikan sekolah karena beberapa faktor. Pertama, fokus utama pendidikan seringkali pada mata pelajaran akademis dan persiapan ujian. Kedua, ada anggapan bahwa keselamatan berkendara adalah tanggung jawab orang tua atau pengemudi, bukan sekolah. Ketiga, implementasi kurikulum keselamatan berkendara membutuhkan sumber daya dan pelatihan guru yang lebih sulit, yang mungkin belum bisa disiapkan.
Bila secara praktek sulit disiapkan, setidaknya kurikulum keselamatan berkendara di sekolah lebih dulu difokuskan kepada TEORI dan KEPEDULIAN akan berkendara yang aman.
Bila secara kognitif para siswa telah terlatih, sedikit banyak mereka akan lebih memiliki kehati-hatian dalam berkendara. Baik di masa muda maupun di kehidupan mereka ketika dewasa.
“Pendidikan berlalulintas adalah salah satu materi yang bagus dalam membangun moral anak-anak Indonesia,” imbuh Sonny.
“Walau tanpa praktek, toh tumbuh awareness (kesadaran) tentang keselamatan berkendara di dalam pikiran mereka,” tegas Sonny.
Perlu kita akui bersama bahwa pembangunan manusia yang dicanangkan menuju Indonesia emas 2045, bisa terganggu bila banyak warga yang kehilangan potensi kehidupan dan ekonomi akibat kecelakaan lalu lintas. (MH)