AUTOINDO.ID, JAKARTA–Lampu strobo dan sirine bukan hiasan jalanan—apalagi simbol kekuasaan. Di tengah padatnya lalu lintas Indonesia, suara “tot-tot-tot” dan cahaya “wuk-wuk” kerap muncul tanpa alasan jelas. Gerakan “Stop Strobo dan Sirine” lahir dari kejengkelan publik terhadap perilaku arogan segelintir pengguna jalan yang merasa lebih berhak daripada yang lain.
Dari sisi keselamatan, strobo berlebihan dan sirine keras bukan hanya mengganggu konsentrasi pengendara, tapi juga memicu panik mendadak hingga risiko kecelakaan. Bahkan bagi orang yang sensitif cahaya dan suara, dampaknya bisa berbahaya. Jalan raya adalah ruang bersama—bukan panggung intimidasi.
Dari sisi hukum, aturan sudah tegas: strobo dan sirine hanya untuk ambulans, pemadam kebakaran, polisi, atau kendaraan dinas tertentu yang sedang dalam keadaan darurat. Yang terjadi di lapangan sering kebalikannya—pejabat atau pemilik mobil pribadi seenaknya menggunakan strobo, membuat masyarakat harus menyingkir tanpa alasan yang sah.
Secara psikologis dan sosial, strobo dan sirine yang digunakan sembarangan menjadi simbol privilese dan kesewenangan. Masyarakat lelah menjadi korban suara dan cahaya bising, dan gerakan ini lahir sebagai perlawanan terhadap budaya “yang berkuasa yang didahulukan”.
Namun penting diingat: gerakan ini bukan penolakan terhadap ambulans dan pemadam kebakaran. Dua armada inilah yang justru harus diberi prioritas penuh karena menyangkut nyawa manusia. Menghambat mereka sama saja menutup pintu keselamatan.
Jika ingin jalan raya lebih adil, solusinya bukan sekadar hashtag, melainkan edukasi publik dan penegakan hukum yang konsisten. Aparat harus berani menindak penyalahgunaan strobo dan sirine, dan para pemimpin dari level menteri hingga ketua komunitas mesti ikut mengedukasi lingkarannya.
Gerakan “Stop Strobo dan Sirine” adalah alarm moral: hentikan privilese, patuhi aturan, beri jalan pada yang benar-benar darurat, dan hentikan intimidasi di ruang publik bernama jalan raya.(Jusri Pulubuhu)
