spot_img
Kamis, Agustus 7, 2025
  • HOME
BerandaBerita UtamaIndonesia Negara Maju atau Negara Mundur?

Indonesia Negara Maju atau Negara Mundur?

- Advertisement -spot_img

AUTOINDO.ID, JAKARTA–Setiap bulan Agustus datang, arwah para pahlawan juga datang ke rumah kita. Bahkan mungkin kemudian membisikkan sesuatu ke telinga, sehingga kita merasa ‘ada yang berbeda dengan Agustus’. Tentu saja itu imajinatif. Tetapi memang Agustus , seperti biasanya menjadi bulan yang memacu semangat nasionalisme.

Sayangnya, Agustus tahun 2025 agak berbeda. Ada bendera bajak laut yang ikut dikibarkan bersama Sang Merah Putih. Anak muda menyebutnya bendera One Piece (lambang di dalam serial animasi Jepang yang bertajuk One Piece) . Ada yang mengibarkannya secara nyata di belakang truk atau mobil pribadi, tetapi lebih banyak anak muda yang mengibarkan bendera berwarna dasar hitam itu di media sosial.

“Simbol perlawanan terhadap ketidakadilan di negara kita,” ujar Pia Ageng, seorang siswi SMA di Bogor. “Pengangguran membeludak dan susah sekali mendapat pekerjaan,” imbuh M. Firdaus, seorang lulusan SMK di Cianjur.

Ketidakadilan dan pengangguran tentu saja ada di seluruh muka Bumi. Bukan cuma di Indonesia. Bahwa kemudian anak-anak muda Indonesia ingin meresonansi persoalan itu dengan mengibarkan bendera One Piece, ya itu hak mereka. Tentu sejauh tidak melanggar undang-undang yang ada.

Agustus tahun 2025 juga agak berbeda ketika GIIAS (Gaikindo Indonesia International Auto Show) disebut sebagai pameran otomotif terbesar dan terlengkap di dunia di luar China. Menempati area seluas 120 ribu meter persegi, GIIAS memamerkan tidak kurang dari 60 merek otomotif global, yang terdiri atas 40 merek kendaraan penumpang, 4 merek kendaraan komersial, 17 merek sepeda motor, dan empat perusahaan karoseri.

Selain itu, hadir 120 merek industri pendukung, termasuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di bidang otomotif. Apakah bisa disebut sebagai ironi bahkan anomali? Ketika banyak warga yang mengibarkan bendera bajak laut dari serial kartun karena kecewa dengan kondisi negara, tetapi di sisi lain banyak warga yang menikmati kemewahan dan kenyamanan pameran otomotif besar yang sangat bergengsi.

Itu baru satu pameran. Sedangkan di tahun 2025 ini sudah digelar Indonesia International Motor Show (IIMS) di bulan Februari lalu. Dan sejumlah pameran otomotif lain ikut masuk kalender, termasuk pameran khusus roda dua dan khusus mobil listrik. GIIAS sendiri pun akan digelar lagi di Surabaya, Semarang, Bandung, dan Makassar.

Ada orang yang mengekspresikan kesulitan hidup dengan mengibarkan bendera bajak laut. Ada pula orang yang mengglorifikasi kesuksesan hidup dengan mendatangi pameran otomotif nan mewah. Mereka sama-sama orang Indonesia. Mereka sama-sama disebut ‘netizen konoha’ (sebutan yang sebetulnya merendahkan namun telanjur populer di medsos).

Ketika berhadapan dengan netizen Malaysia, mereka bersatu dan melupakan perbedaan status kehidupan. Demikian pula ketika berhadapan dengan netizen Brasil yang menyerang Indonesia dalam proses penyelamatan Juliana Marins yang jatuh dan meninggal di Gunung Rinjani, Lombok.

“Jangan kalian menyerang Indonesia. Yang boleh mengkritik Indonesia hanyalah kami sendiri,” ujar seorang netizen Indonesia membalas komen seorang netizen Brasil di aplikasi Instagram.

Akan halnya netizen Malaysia sering menyebut warga Indonesia dengan istilah “IQ78”, “konoha”, “negara bibik”, dan “negara mundur” sambil menyebut negeri mereka sendiri dengan istilah “negara maju”.

Ada netizen Indonesia yang percaya dengan klaim “negara maju” itu. Tetapi ada pula netizen yang menertawai klaim tersebut. “Pengen banget dibilang negara maju, padahal masih negara berkembang,” ujar seorang netizen @pasmaciptawira dalam komen di aplikasi Tiktok.

Oke, mari kita cermati lebih mendalam. Salah satu indikator yang sering digunakan untuk menilai negara maju adalah negara dengan pendapatan perkapita di atas USD 12.000 per tahun. Pemerintah Malaysia menargetkan pendapatan per kapita USD 14.000-an pada tahun 2025. Sementara itu, Indonesia menargetkan pendapatan perkapita USD 5.500-an pada 2025.

Meski PDB (produk domestik bruto) Indonesia tahun 2024 sebesar USD 1,4 triliun, dan PDB Malaysia hanya USD 422 miliar, namun karena jumlah penduduk Indonesia juga sangat besar, maka pendapatan perkapita Indonesia masih di bawah Malaysia.

Inilah yang menjadi senjata netizen Malaysia untuk menyindir netizen Indonesia dengan istilah “negara mundur” dan menyebut negeri mereka sendiri dengan frasa “negara maju”.

Namun apakah fair bila mengklaim kemajuan sebuah negara hanya dengan pendapatan perkapita?

Bagaimana bila indikatornya adalah pameran otomotif? Maka Indonesia jauh lebih maju daripada Malaysia bila dilihat dari banyaknya dan besarnya pameran otomotif. Belum lagi bila dilihat dari besarnya penjualan mobil di Indonesia, baik domestik maupun ekspornya. Malaysia tentu jauh tertinggal dan besar kemungkinan tidak akan pernah bisa mengejar Indonesia.

Namun biasanya netizen jiran akan menyebut bahwa mereka punya mobil nasional Proton dan Perodua, sedangkan Indonesia belum punya mobil nasional.

Mari kita lihat lebih mendalam. Kebetulan penulis pernah berkunjung ke markas Proton di medio dekade 2000-an. Penulis dan sejumlah wartawan lain diajak berkeliling pabrik, dan menyaksikan betapa tertinggalnya Proton dibanding pabrikan Jepang dan Korea Selatan dalam R & D, aplikasi teknologi, maupun proses perakitan itu sendiri.

Semuanya tercermin di dalam test drive yang kami lakukan terhadap mobil Proton. “Kok rasanya seperti mengendarai mobil tua ya,” ujar seorang jurnalis ketika itu setelah mencoba Proton Gen2.

Sementara itu, terus terang penulis belum pernah mencoba mobil Perodua. Namun, majalah Autocar Edisi Inggris pernah menjajal sebuah Perodua dan memotretnya tepat di area pembuangan sampah (semacam Bantar Gebang) di luar London. Sebuah simbol yang semua orang bisa mengerti maksudnya.

Lebih dari itu, terbukti pula bahwa merek mobil buatan Malaysia hingga kini belum pernah sukses di Indonesia, bila dibandingkan dengan merek Jepang, Eropa, atau Amerika. Ini terkait dengan fakta bahwa warga Indonesia telah terbiasa mengendarai mobil-mobil berkualitas tinggi.

Bahkan mobil LCGC dengan harga yang relatif murah dan TKDN (tingkat komponen dalam negeri) mencapai 60% pun masih jauh lebih enak dikendarai dibanding mobil Proton (pendapat subjektif penulis). Artinya kualitas komponen dalam negeri sudah sangat baik dan sesuai standar pabrikan Jepang termutakhir.

Sekali lagi, pertanyaan awal kita munculkan: Indonesia negara maju atau negara mundur sebagaimana sindiran netizen jiran?

Soal pendapatan perkapita kita kalah, tapi soal merakit mobil bermutu kita menang. Proton dan Perodua merupakan produk lisensi dari teknologi Mitsubishi dan belakangan beralih ke Daihatsu. Sedangkan mobil yang dirakit di Indonesia kebanyakan juga bekerja sama dengan perusahaanJepang. Tetapi mengapa mobil yang dirakit di Indonesia lebih enak dikendarai?

Kemudian, apakah perakitan teknologi canggih hanya soal mobil? Tentu saja tidak. Ada pula perakitan pesawat terbang, helikopter, kapal laut, dan kereta api.

Indonesia mampu merakit pesawat terbang di PT Dirgantara Indonesia (DI), bahkan salah satu produknya diekspor ke Malaysia, yakni pesawat CN-235. Maaf, Malaysia tidak mampu merakit pesawat terbang.

Demikian pula dengan helikopter, kita bisa merakitnya di perusahaan yang sama, dan sekali lagi Malaysia belum mampu merakit helikopter. Heli buatan PT DI bahkan telah diekspor ke beberapa negara.

Akan halnya kapal laut, kita mampu merakitnya di PT PAL Surabaya. Sedangkan kereta api kita memproduksinya di PT INKA di Madiun. Malaysia bahkan mengimpor kereta api dari Indonesia.

photo by: Denny C

Bila indikator sebuah negara maju adalah kemampuan dalam industri strategis seperti disebut di atas, maka Indonesia boleh berbesar hati. Memang hanya negara-negara maju yang bisa merakit pesawat terbang, helikopter, kapal laut (termasuk kapal perang), kapal selam (dirakit juga di PT PAL), dan kereta api. Sebut saja Amerika, Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, China, dan Korea Selatan.

Maju dalam pendapatan perkapita tetapi tertinggal dalam industri strategis, apakah layak disebut negara maju? Kalah dalam pendapatan perkapita namun unggul dalam industri strategis, apakah bisa dianggap negara maju?

“Dunia tempatnya berdiri tidak hanya hitam dan putih. Ada banyak warna di atasnya. Sementara warna-warna pun bisa berubah nama,” demikian ujar sastrawan Remy Sylado dalam salah satu karyanya.

Menilai maju atau tidaknya suatu masyarakat, tentu bukan hanya dengan satu indikator. Tidak hanya hitam atau putih belaka. Melainkan banyak spektrum warna dalam cara kita memandang dunia.

Brunai, Monaco, dan Luxemburg merupakan beberapa negara dengan income perkapita tertinggi di dunia, namun kemampuan mereka dalam industri strategis hampir tidak terlihat. Hanya kuat dalam pendapatan finansial, namun mereka lemah dalam banyak hal. Keselamatan rakyatnya sangat bergantung pada negara lain yang lebih kuat.

Itulah kenapa dalam menyikapi cibiran warga Malaysia terhadap Indonesia, kita juga perlu melihat kemampuan negara dalam melindungi rakyatnya dari ancaman keselamatan fisik. Dalam hal ini, militer Indonesia jauh lebih kuat dibanding militer Malaysia. Industri militer kita pun lebih maju daripada jiran. Mulai dari perakitan satelit, drone, roket, hingga rudal, jelas Indonesia beberapa langkah di depan tetangga itu.

Mengibarkan bendera One Piece yang didominasi warna hitam dan putih, boleh jadi mencerminkan spektrum pikiran segelintir anak muda yang masih terbatas.

Namun bisa juga dipahami sebagai alarm bagi pemerintah untuk bekerja lebih giat dan jujur. Sebab anak muda masa kini ternyata lebih responsif dibanding generasi sebelumnya. Mereka segera bereaksi atas segala kondisi, seolah tanpa jeda, spontan, dan mengejutkan.

Satu hal yang pasti, pertanyaan di awal artikel ini: Indonesia negara maju atau negara mundur, hanya bisa dijawab dengan cara pandang berspektrum luas.

Tetapi bila bendera One Piece semakin banyak dikibarkan, maka tentu akan ada kemunduran. Setidaknya dalam cara berpikir sebagian anak muda kita.

Agustus tahun ini boleh sedikit berbeda. Namun kecintaan kita kepada Sang Merah Putih tidak pernah berubah. Merdeka!

M. Hasan

- Advertisement -spot_img
Baca Juga
Related News