AUTOINDO.ID, LOMBOK–Asap tipis dari lintasan Mandalika belum sepenuhnya sirna ketika Marc Marquez berjalan perlahan menuju medical centre. Langkahnya tertahan, tangan kanannya tergantung tak berdaya di balik baju balap. Namun dari sorot matanya, tak tampak marah. Hanya ketenangan dan sedikit getir yang tak diucapkan.
Enam tikungan. Itu saja yang sempat ia lewati sebelum tubuh dan motornya terhempas di tikungan ketujuh. Sebuah senggolan dengan Marco Bezzecchi mengakhiri harapannya hari itu. Pemeriksaan medis mengonfirmasi: tulang selangka kanan patah, dan ada kemungkinan cedera ligamen. Namun di tengah rasa sakit, Marquez tidak menyalahkan siapa pun.
“Kadang saya yang melakukan kesalahan, kadang pembalap lain. Yang penting, itu tidak disengaja,” tuturnya lirih, menolak menyulut bara dari kejadian itu.
Bezzecchi datang, meminta maaf dengan wajah tertunduk. Marquez mengulurkan tangan kirinya, menepuk bahu sang rival. “Itulah risiko balapan,” ujarnya, sederhana tapi berwibawa.
Marquez tahu, rasa sakit bukan hanya miliknya. Ia tahu, balapan selalu menyimpan ruang bagi kesalahan, bahkan di tangan pembalap terbaik. Tapi di situlah keindahan olahraga ini ia bukan hanya tentang siapa tercepat, tapi siapa yang paling besar hatinya.
“Ini bukan cara terbaik untuk merayakan gelar juara dunia,” lanjutnya. “Kami akan lihat apa yang dikatakan dokter. Semoga saya bisa pulih secepatnya, tapi tetap sesuai batas pemulihan.”

Sementara itu, steward MotoGP masih menyelidiki insiden tersebut. Ironisnya, tak satu pun pembalap Ducati pabrikan berhasil mencapai garis finis hari itu. Namun, publik tak banyak membicarakan hasil balapan, mereka justru membicarakan ketenangan Marquez, bagaimana ia menghadapi luka tanpa kebencian.
Hari itu, Mandalika menjadi saksi. Seorang juara dunia tujuh kali jatuh, tapi martabatnya tidak ikut tumbang. Ia mengajarkan bahwa keberanian bukan hanya soal menaklukkan kecepatan, melainkan menaklukkan ego.
Marc Marquez mungkin kalah di lintasan, tapi ia menang dalam hal yang lebih besar: kemanusiaan.