AUTOINDO.ID, JAKARTA–Bukan merek mobilnya, bukan pula harganya, tidak pula kecanggihannya yang kita maksudkan dengan kutipan dari artis Amerika Serikat, Alexandra Paul tersebut. Yang kita maknai dari kalimat itu adalah perilaku kendaraan di jalanan, ketika dikendarai oleh seseorang.
Ya, perilaku sebuah kendaraan menyiratkan banyak hal dari orang yang mengemudikannya. Kalau ngebut dengan alasan terburu-buru, maka ada kemungkinan orang itu malas berangkat lebih awal atau tidak mampu mengatur waktu dengan baik.
Kalau kendaraan berjalan zig-zag dan main serobot, ada kemungkinan dikemudikan oleh orang yang temperamental atau tidak sabaran.
Bagaimana dengan kecelakaan bus dan truk yang akhir-akhir ini semakin sering terjadi? Ada dua kemungkinan penyebabnya, pertama masalah teknis (kendaraan tidak layak dan pengemudinya kurang ahli), serta kedua masalah moral (pengemudi sengaja berkendara secara ugal-ugalan dan tidak terukur).
Berbagai video dari kamera dashboard yang banyak diunggah ke media sosial memperlihatkan justru banyak penyebab kecelakaan karena faktor kedua (moralitas berkendara). Misalnya berebut lajur, berebut masuk pintu tol, menyalip tanpa kesabaran, sengaja menghalangi kendaraan di belakang, tidak mau mengalah (egois), lewat persimpangan tanpa menoleh, putar balik tanpa menoleh, keluar gang tanpa menoleh, sein kiri belok ke kanan, dan lain sebagainya.
Itu belum termasuk kecelakaan akibat mengantuk. Mengapa bisa mengantuk? Tentu karena keengganan mengatur ritme hidup dengan baik (olah raga, makan sehat, mengurangi begadang, mengurangi rokok, mengurangi minum beralkohol, dan lain sebagainya). Itu semua adalah masalah moral: bagaimana mengatur hidup dengan etis sebelum mengemudi.

(photo-photo: Istimewa)
Ada rekan yang berkata, “Faktor teknis juga banyak jadi penyebab, misalnya rem blong. Kecelakaan bus dan truk biasanya alasannya rem blong.” Tunggu dulu. Rem bisa blong karena apa? Kurang perawatan. Mengapa? Malas ke bengkel atau bisa juga karena tidak mau menyediakan dana untuk perawatan rem. Jadi masalah moral lagi, bukan?
Untuk bus dan truk, pemerintah mewajibkan uji KIR secara rutin guna memeriksa kelaikan kendaraan secara teknis. Katakanlah kendaraan dianggap layak jalan dan lolos uji KIR, tapi kemudian dikendarai oleh sopir yang mabuk, suka begadang, dan tidak sabaran? Terjadilah kecelakaan. Sekali lagi, akar masalahnya adalah moralitas, bukan teknis.
Lebih parah lagi bila uji KIR bisa dilakukan lewat jalan “damai” alias kendaraan tidak laik jalan tapi diloloskan berkat salam tempel. Ini jelas-jelas masalah moral yang berat: pemilik mobil dan penguji KIR sama-sama bobrok.
Bagaimana cara memperbaiki moralitas itu? Ini tentu persoalan sangat besar yang melibatkan semua stakeholder dunia. Dimulai dari pendidikan paling dini: diajarkan menjadi manusia yang hidup dengan sehat, tertib, disiplin, amanah, dan positif.
Lalu lintas adalah potret kualitas hidup manusia. Semakin banyak kecelakaan, maka menunjukkan bahwa manusianya semakin tidak bermoral.
Kenyataan kian rontoknya moralitas seperti ini mungkin dibanding lurus dengan fakta perilaku korup yang seolah semakin marak di dunia. Pejabat hingga rakyat kecil melakukan korupsi, tentu dalam skalanya masing-masing. Akankah terus berlanjut?
Semoga tidak. Jangan sampai kecelakaan lalu lintas tidak berkurang, tapi justru bertambah. (MH)








