AUTOINDO.ID, JAKARTA–“Populernya kendaraan listrik belakangan ini hanyalah keberhasilan penciptaan peluang bisnis baru,” ujar seorang rekan yang mantan jurnalis dan kini menekuni bidang industri minyak dan gas. “Memang bukan semata demi kelestarian lingkungan,” imbuhnya.
Pernyataan itu muncul sebagai respons atas tulisan autoindo.id sebelumnya yang berjudul ‘Yakin Mobil Listrik Anda Ramah Lingkungan?’ Sang rekan kini juga berkecimpung langsung menangani CCS (carbon capture and storage) berbagai perusahaan minyak dan gas. Mengenai CCS, suatu kegiatan yang juga dilakukan berbagai perusahaan otomotif, akan kami ulas tersendiri dalam tulisan terpisah.
Kembali ke populernya kendaraan listrik akhir-akhir ini, memang bisa dipandang secara ironis. Betapa tidak, ketika China menjadi produsen mobil listrik terbesar di dunia, China jugalah yang menjadi pembakar batu bara terbesar di dunia.

(Sumber photo: SWA)
Dari total 17,3 juta unit mobil listrik yang diproduksi di seluruh dunia pada tahun 2024 (meningkat sekitar 25% ketimbang tahun 2023), sebagian besar dibuat di China, yakni mencapai 12,4 juta unit.
Tiongkok masih menjadi pusat manufaktur mobil listrik dunia dengan menyumbang lebih dari 70% produksi global pada tahun 2024.
Ironisnya, Tiongkok jugalah negara pembakar batu bara terbesar di dunia, yakni dengan 91,9 exajoules. Disusul India dengan “hanya” 22 exajoules, Amerika Serikat dengan 8,2 exajoules, Jepang dengan 4,54 exajoules, dan Indonesia dengan 4,32 exajuloules. Dari data itu terlihat China sangat jauh lebih “rakus” mengkonsumsi batu bara dibanding negara besar lain.
Seperti kita tahu, mayoritas pembakaran batu bara dilakukan China untuk menggerakkan pembangkit listrik. Kemudian daya listriknya antara lain dipakai oleh industri perakitan mobil listrik dan mengisi baterai mobil listrik.
Padahal batu bara yang dibakar menghasilkan polusi udara secara massif. Akan lain ceritanya bila pembangkit listrik digerakkan oleh angin, air, atau surya.
Menurut laporan terbaru Center for Research on Energy and Clean Air (CREA), sebuah organisasi penelitian kualitas udara independen yang berbasis di Finlandia; dan Global Energy Monitor (GEM), sebuah perusahaan analitik energi yang berbasis di AS, sebagaimana dirilis dw.com, Tiongkok membakar lebih banyak batu bara di pembangkit listrik pada periode Januari–Juli 2025 dibandingkan periode mana pun sejak 2016.
Rekor pembakaran batu bara itu menghasilkan listrik sebesar 21 gigawatt. Sebagian di antaranya digunakan oleh berbagai industri baterai dan perakitan mobil listrik.
Tak kalah ironis, China mencanangkan pemakaian batu bara lebih banyak lagi, untuk mencapai target pembangkitan listrik 100 gigawatt hingga akhir 2025.
Batu bara berdampak lingkungan bukan hanya pada pembakarannya yang menimbulkan emisi sangat massif, tetapi juga pada proses penambangannya yang sangat merusak tanah, hutan, dan ekosistem.
“Batu bara saat ini menyumbang setengah dari produksi energi China,” ujar laporan tersebut.
Toh bagaimana pun, kuantitas itu sudah mengalami penurunan dibanding tahun 2016 ketika tiga perempat energi China ditopang batu bara.

(Sumber photo: Equatorial dan Wikipedia)
Tiongkok, ekonomi terbesar kedua di dunia, penghasil mobil listrik terbesar di dunia, juga merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Ironis?
Ketika bisnis mobil listrik di China –dan juga di dunia– tumbuh pesat, salah satu promosinya adalah menggiring konsumen sebagai “pejuang lingkungan hidup yang mengurangi emisi dari mobil yang dipakai sehari-hari”.
Stigma serupa terjadi juga pada konsumen mobil listrik merek Amerika Serikat, seperti Tesla, di mana sejumlah selebriti Hollywood ikut berkampanye soal “memakai mobil listrik berarti menyelamatkan lingkungan”.
Padahal, seperti disebutkan di atas, Amerika Serikat juga merupakan pembakar batu bara terbesar di dunia, yakni peringkat ketiga setelah China dan India.
Bisnis yang memanfaatkan isu lingkungan hidup memang mudah menarik simpati publik. Mobil listrik pun laris manis.
Bila pembangkit listrik di negara-negara besar –termasuk Indonesia– sudah tidak lagi memakai batu bara (PLTU) atau bahan bakar minyak (PLTD), dan diganti dengan tenaga angin, air, atau surya, maka mobil listrik bisa mencapai tujuan idealnya. Tapi kapan?
Bahkan pertanyaan radikalnya: mungkinkah? (MH)